13 September 2008

Kurir Kotak Nasi

Hari Jumat kemarin sebenarnya sudah cukup aneh buat saya. Untuk pertama kalinya, saya punya hari terakhir di sebuah tempat bekerja dengan kepastian kapan saya bisa memulai bekerja di tempat berikutnya.


Aneh.. karena dalam skala yang lebih kecil (tapi dengan beberapa tambahan dramatisasi yang tepat), saya seperti diberi kesempatan mengetahui kapan saat-saat akhir itu tiba. Seolah tahu kapan akan mati, lalu kapan akan dibangkitkan dalam kehidupan selanjutnya. Ya ya ya, saya tahu saya memang agak berlebihan.


Maka hari Jumat kemarin adalah hari terakhir saya di tempat lama. Saya pikir sudah sepantasnya saya menutupnya dengan baik. Pulang agak lebih telat, buka puasa bersama teman sejawat yang segera ditinggalkan dan pamitan sana sini. Alhasil, saya harus datang menyusul di acara buka puasa bersama teman-teman SMU dulu.


Saya pikir saya sudah cukup makan di kantor lama sehingga di acara bareng teman SMU, saya hanya akan minum saja atau mungkin cemilan kecil. Tapi mari kita lihat cerita selanjutnya.

Tentu saja saya datang ketika semua sudah kumpul. Saya duduk di kursi tengah. Obrol-obrol sedikit, apa-kabar-kamu-apa-kabar-dia, tengok sektor kanan, ketawa ketiwi, lalu tengok sektor kiri. Tidak jelas apa yang sedang dibicarakan temen-teman di sektor kiri, saya hanya menduga sebuah situasi seseorang di antaranya hendak mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan hendak diberikan kepada seseorang yang lain. Mulut ini memang terlampau banyak bicara. Alih-alih diam cuma memperhatikan, saya malah bertanya ‘ada apa sih?, mo ngasih apa nih?’


DAN….. tiba-tiba sepertinya semua kompak untuk menyimpulkan bahwa saya saja yang pantas diberikan ‘sesuatu’ itu. Saya diam. Ternyata yang keluar dari tas adalah sebuah kotak nasi khas kenang-kenangan dari acara hajatan. Semua ramai, bicara, bising, dan kotak nasi itu diletakkan persisi di depan saya. Tubuh saya memang kurus, tapi alhamdulillah saya rasa muka saya tidak pernah saya set untuk memberi kesan minta nasi. Gak mungkin saya makan di situ, karena saya sudah cukup makan malam itu, tapi bingung bagaimana menolaknya. Dan gak pernah berkurang sedikitpun kekompakan semua teman saya di situ untuk tetap menentukan bahwa sayalah yang harus bertanggung jawab atas si kotak nasi. Makan di situ, atau dibawa pulang juga boleh. Tapi harus oleh saya. Nah loh..


Saya sebenarnya malas. Malas membawa, malas memakannya di rumah, malas mengurusnya. Kemalasan itu saya bawa ke situasi bercanda tentang kotak nasi. Becanda marah, becanda ngakak, becanda kesal, becanda rewel. Pokoknya ketawa ketiwi tapi ngerasa aneh, janggal, ganggu…… tapi juga mikir. Kok saya?


Singkat cerita, waktunya pulang. Saya pulang berdua bersama teman yang satu arah. Kami-lah yang membawa kotak nasi itu. Tidak punya kesempatan memberikannya kepada petugas parkir karena ramainya orang di parkiran, akhirnya kotak itu kami berikan pada sekumpulan anak yang berkeliaran di sebuah lampu merah. Wah, mereka sangat berterima kasih pada kita berdua. Ada yang rebutan jeruknya, ada yang rebutan kerupuknya. Mereka senang sekali menerima sekotak makanan gratis, yang mungkin jarang mereka bisa nikmati. Sementara, kami berdua panen terima kasih atas sesuatu yang tidak pernah benar-benar kami miliki atau dapatkan. Rasa yang aneh. Jadi ratu sejagad semalam.


Menjadi kurir kotak nasi. Kotak nasi yang harus berpindah-pindah tangan untuk bisa sampai ke tangan yang membutuhkan. Pengalaman kecil yang memuat banyak nilai. Dari sejumput sombong karena sok gak mau terima nasi gratisan sampai sebuah kesadaran bahwa ucapan terima kasih yang kita terima darimana pun sesungguhnya tidak pernah utuh untuk kita. Sebab kita tidak pernah benar-benar memiliki sesuatu.


A huge message in a little-tiny-two-hour experience. Siapa lagi yang bisa mencipta macam gini, kalau bukan Yang Maha Menakjubkan..

07 September 2008

Ulang Tahun, Kado, Semoga


Beberapa jam lagi dari saat jari ini mengetik, ada angka 3 yang akan menghampiri, merengkuh, memeluk dan akan hidup bersama saya -- entah untuk berapa lama ke depan. Umur siapa yang tau!


Kalau ini tentang ulang tahun, saya sudah menerima kadonya.


Saya menerima sebuah cermin.

Cermin indah yang bersinar, kata beliau. Untuk yang ini, saya harus ingat bahwa kemungkinan besar memang saya mencari sinar.. tapi mudah-mudahan bukan kilatan blitz kamera. Sinar yang saya bayangkan adalah sinar sederhana yang diinginkan siapapun yang telah sekian lama terperangkap dalam gua bawah tanah yang gelap. Sinar bercahaya yang menghangatkan sekaligus teduh. Dan mudah-mudahan saya tidak terlampau utopis.


Saya menerima sebuah cermin.

Di situ ada bayangan tentang bagaimana orang-orang di sekitar saya menyorotkan matanya pada saya… dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dari bentuk ikut bahagia, sampai sempat menyempilkan kekhawatiran. Alhamdulillah..


Saya menerima sebuah cermin.

Semoga saya diberi juga kemudahan dalam menjaga cermin ini. Supaya saya bisa selalu eling! Jauh dari besar kepala atau tinggi hati. Mohon ampun..


Semoga cermin ini selalu berbunga. Tanda keindahannya selalu menjelma..


Yang Maha Ajaib, lapangkan dan mudahkanlah segala jalanku..


It’s counting to 30.. Happy birthday, Dod!