25 Januari 2008

Malus Nakal

Sesuatu membisikkan saya tentang nikmatnya buah apel. Ya.. benar… Apel!! Anda tentu sudah merasakan asam dan segarnya apel malang. Atau mungkin anda lebih memilih apel manalagi yang tidak terlalu besar, hijau tapi rasanya manis legit. Atau justru anda lebih suka apel merah impor berstiker washington yang relatif lebih lembut. Apel ngeres, orang bilang.



Banyak orang suka apel. Semua bisa memilih jenis yang disukai. Hijau, hijau kemerahan, merah pekat, atau merah kekuningan. Lembut, renyah, kecil, besar, asam, manis, manis keasam-asaman, atau asam kemanis-manisan. Lokal atau impor. Digigit langsung, diiris-iris tipis, dijus, diolah jadi pie, keripik apel, dibuat salad, rujak, atau cuka apel. Lagipula pepatah bilang ‘an apple a day keep the doctors away’. Antioksidannya yang tinggi, kemampuannya yang terbukti dalam membersihkan permukaan gigi kalau digigit langsung, bisa mencegah kanker, menstimulasi peremajaan sel, sampai berkhasiat mencegah gangguan pada saluran pencernaan.



Apel dijadikan ikon sebuah produk kosmetik sebagai role model karena kulitnya yang kencang, mulus, dan tidak mudah berkerut. Butuh berminggu-minggu untuk menjadi berkerut, walaupun anda simpan di kulkas.

Saya juga suka apel walaupun saya tetap suka jeruk, alpukat, tomat, pisang, nangka, durian, salak, dan anggur. Kesukaan saya pada mereka sama banyaknya. Tapi si apel ini kerap menggoda. Saya menghianati yang lain dan mengkonsumsi apel dengan lebih banyak. Jauh lebih banyak. Lalu saya ‘terantuk’. Mungkin terlalu banyak apel yang saya nikmati. Saya tidak menyadari itu. Tapi kata Gossen, tingkat kepuasan yang terus menerus dipenuhi akan menurun. Mungkin ini titik nadir terendahnya. Bukan tidak memberi manfaat, tapi setidaknya apel renyah itu bisa menggerus gusi saya saat saya menggigit langsung sang apel.

Mungkin saya tidak bisa meninggalkan apel selamanya. Belum bisa. Mungkin saya perlu kembali ingat bahwa saya juga suka pisang, jeruk, nangka, jambu, nanas, atau pir. Hey J… Pasar Minggu belum tutup, supermarket Total mulai banyak, section buah di supermarket semakin meluas, tukang sayur keliling juga jual pisang segantet.


Hahaha… inilah badai laten yang kerap datang. Tidak bisa dilawan, tidak mudah disiasati, cukup sulit juga untuk ditertawai. Begitulah!


17 Januari 2008

Jodoh Dompet

Begini-begini, saya sudah empat kali berjodoh…


Yang pertama saya nikahi karena kecocokan. Kita bisa hidup bersama selama 2 tahun. Kita saling menyayangi, bahkan dalam keadaan yang prihatin. Saya cukup tidak peduli bahwa di luar sana banyak orang serba berkelebihan. Saya pikir, kalau saya sendiri bisa nyaman dan tenang dalam kekurangan itu, kenapa mesti resah? Satu setengah tahun pertama benar-benar membuat saya bahagia. Tapi enam bulan terakhir dalam hubungan kita, saya mulai tergoda dengan yang lain. Bagaimana tidak? Dia mulai banyak menghabiskan perhatian untuk orang lain. Saya semakin tidak diperhatikan. Saya semakin dibuat merasa tidak berarti. Akhirnya saya tinggalkan dia tanpa putusan pengadilan. Biar saja, saya rasa dia cukup merasa bahwa dialah paling bertanggung jawab atas kegagalan hubungan kita. Biar saja disebut berhenti menafkahi lahir batin secara tiba-tiba…. menghilang. Biar saja….


Saya tinggalkan yang pertama karena saya bertemu yang kedua ini. Tidak langsung sih. Saya sempat berpikir lama juga karena saya mempertimbangkan pendapat dan perasaan keluarga dan orang-orang terdekat kalau saya memilih si kedua ini. Akhirnya saya berkesimpulan, ini lebih kepada saya sendiri. Saya sendiri yang harus bisa menerimanya terlebih dahulu. Kalau lalu kita baik-baik saja, pasti semua orang bisa menerima. Begitulah, saya akhirnya menemukan jodoh saya yang kedua. Hubungan kita sangat mesra sekali. Semua teman saya mendukung hubungan ini, walaupun keluarga butuh waktu lebih lama untuk bisa menerimanya. Saya tidak ambil pusing. Tiga tahun yang amat sangat membahagiakan dan harus berakhir karena dia dipanggil yang Maha Kuasa… Saya masih sayang sama dia. Rindu untuknya selalu melahirkan kubangan di lensa mata. Kadang saya biarkan menetes, kadang saya tahan.



Sempat vakum beberapa bulan, saya mencoba untuk berjodoh lagi. Berjodoh sih, tapi ternyata hanya untuk waktu 2,5 bulan. Quickie Express. Mengerikan!!! Mungkin saya yang salah. Kurang menghabiskan waktu lebih banyak untuk mengenalnya luar dalam. Kali ini, saya putuskan pisah baik-baik. Dengan putusan pengadilan dan dilengkapi surat-surat yang diperlukan.


Anehnya, hanya selang satu minggu saya kembali berjodoh dengan yang lain. Saya butuh pendamping secepatnya, dan yang ini terlihat cukup seksi. Sebenarnya saya pernah mengidamkan yang seperti ini. Maka, semua saya putuskan sesegera mungkin. Yup, saya suka dengan keseksiannya walaupun dia judes. Nah, kejudesan inilah yang akhirnya menjadi alasan saya menyudahi semuanya. Persis setengah tahun saja saya berjodoh dengannya. Pasti kuasa Tuhan… Siapa lagi?


Manusia butuh pasangan sebagai pendamping. Ia perlu berjodoh. Tidak mungkin kapok, walaupun telah berjodoh empat kali dan hanya satu yang cerai mati. Sisanya cerai hidup-hidup.


Saya harus yakin, Sang Maha Mendengar tak perlu memasang kuping mendengar mau saya, Sang Maha Kuasa tak perlu bersusah payah mewujudkan impian saya, Sang Maha Kaya tak pernah kehabisan sumber daya untuk dicurahkan kepada saya. Saya harus yakin…. harus yakin itu…. walaupun gak mudah. Saya mau tetap meyakini itu.


Alam raya…. bukalah segala jalan untuk saya. Amien


14 Januari 2008

Layang-Layang Pikiran

Dunia terasa penuh!! Terutama buat saya yang ewuh pakewuh. Semua orang semakin menampilkan dirinya sendiri. Semua penduduk Jakarta yang 12 juta kepala ini seperti sedang bicara tentang isi kepala dan hatinya sendiri. Semua kerja hati dan otak terakomodasi penuh oleh mulut dan bibir. Tapi tidak dengan telinga.

Fauzi Bowo konsentrasi penuh bersiap-siap menjelaskan tentang apa yang sudah dicapai di 100 hari pertamanya. Ancaman nyata banjir, macet tak berujung, jurang ekonomi yang semakin lebar dan dalam, kriminalitas, jalan bolong-bolong, dan carut marut bus kota berjalan sukses dengan visinya masing-masing.

Infotainment terus mengejar kabar perceraian artis berikutnya, pengusaha tahu tempe lelah sampai stop operasi karena harga kedelai menukik tajam, kasus kematian Munir terus dikejar pengungkapannya oleh pers, mantan penguasa sakit berat, teman saya pusing memikirkan sang pujaan hati yang tidak tegas bersikap meimilih siapa, anggota DPR akan mendapat tunjangan belasan juta rupiah karena rumah dinasnya akan direnovasi, surat pembaca di Kompas yang bercerita tentang sulitnya mengurus paspor di Hari Kejepit Nasional padahal liburan sudah terjadwal, seorang seleb blog sibuk mem-publish pengalaman karaoke bersama teman-temannya akhir pekan lalu, teman saya yang lain yang sebulan ini sibuk mengatur jadwal dan arah hati untuk dua orang pacarnya.

Para korban kebakaran besar di Jakarta, sedang apa ya mereka sekarang? Untuk seorang kenek Kopaja 66 yang tinggal bersama anak dan istrinya di kolong jembatan (dalam arti sebenarnya, tidur di besi penyangga sebuah jembatan yang di bawahnya sungai dalam nan deras) … semoga lindungan Tuhan selalu bersama anda.

Dari setting sebuah pertemuan keluarga yang membahas pilihan travel agent mana yang akan dipilih untuk berangkat umroh sekeluarga…. sampai gerbang depan sebuah pasar tradisonal tempat seorang bapak tua menjual kue cubit.

Sampai saya mengetik kalimat ini, pembantu saya tetap tidak menyekolahkan anaknya karena tidak mampu, dan saya belum kunjung mendapat ‘jodoh dompet’


Tuhan…… biarkan kami semua hidup damai, tenteram, bahagia dan sejahtera. Pasti bukan sesuatu yang sulit bagiMu. Ya kan?




04 Januari 2008

Kotak Ajaib


Dengan berubahnya status saya pada beberapa waktu belakngan ini, saya jadi kembali berkesempatan banyak sekali nonton TV. Yups, acara TV lokal pastinya. Sampai-sampai saya mendapat peringatan dari seorang teman yang, lucunya, bekerja di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Awas ketagihan, katanya. Beliau ini bilang, kalau kelebihan jadi gawat. Sementara acara TV lokal banyak yang kurang berkhasiat dalam hal content, maka kalau porsinya berlebih akan berbalik kontra produktif pada kita. Weleh, iya juga sih.

Karena berniat sedikit mengikuti ritme langkah sang bunda, maka selain terlibat sepercik pada kegiatan belanja dan memasak, saya juga mencicipi selera tontonan program TV beliau. Mulai dari Go Spot, Insert, Silet, serial OB, sampai sinetron macam Mutiara, Cahaya, dan kadang-kadang Kasih.

Karena juga ada niat seteguk untuk ‘menemani’ sang kakak, maka selain secara fisik berkunjung ke Bali, saya juga jadi ikut menyeruput program yang biasa ditonton di rumahnya. Mulai dari Supermama Seleb Show, sinetron Cinta Bunga, Azizah, sampai program sang ‘ponakan macam Tom & Jerry, Dora, Marsupilami, Road Runner, Sponge Bob, Scooby Doo, bahkan si Entong.

Di luar itu, saya juga mulai berkenalan dengan Nanny 911, Coffee Bean Show, Akhirnya Datang Juga, Jika Aku Menjadi… , Silat Lidah, Wisata Belanja, sambil juga setia mengikuti Ngelenong Nyook, Oprah Show, Kick Andy, The Simpsons, Wisata Kuliner, Sisi Lain, serta program-program berita macam Topik, Reportase, Seputar Indonesia, Metro Hari ini, dan Indonesia Now yang porsinya tentu harus dibagi-bagi supaya rata.

Sisanya, saya mulai agak lelah menikmati Ceriwis, Extravaganza, Insert (karena C*t T*ri is coming back), Dorce Show (kecuali versi Jalan-Jalan), dan infotainment investigatif (yang bahkan agak sulit mengingat namanya)

Wuih, otak dan hati terasa penuh juga.

Catatan saya adalah Meriam Belina dibuat ‘mati’ di Mutiara dan sepertinya fokus di Cahaya. Mungkin capek juga shooting kejar tayang untuk 2 produksi. Si Entong dengan segala keanehannya, ternyata lumayan memiliki ide dasar yang menarik. Mungkin lemah di special efek dan aspek pematangan lain. Azizah semakin mirip dengan Maria Cinta yang Hilang. Bahkan sampai pada tampilan fisik salah satu pelayan yang antagonis. Turut gembira untuk Meriam Belina, Dina Lorenza, Lucky Alamsyah, Nanny Wijaya yang masih mendapat tempat di tengah gempitanya pemain-pemain nan masih ranum.

Turut sedih untuk Hetty Koes Endang yang harus berkelakar mengikuti lawakan berlebih dari Eko, Ruben dan Ivan Gunawan. Terlihat sekali, Indosiar sedang bekerja sangat keras mengandalkan si tulang punggung Supermama Seleb Show. Mungkin nasib serupa juga menimpa mbak Bertha yang dipaksa tetap obyektif menilai kuailitas suara dengan dandanan cukup fantastis noraknya di acara serupa di TV seberang.

Saya tetap suka pembawaan Najwa Shihab atau Fessy Alwi sehingga merasa terbawa pada content berita yang mereka bawakan. Tetap heran dan salut buat Trans TV yang program beritanya lebih banyak berisi kuliner, jalan-jalan, dan rekreasi. Tidak lupa juga menyebut Berbagi Cerita-nya ANTV. Menonton program berita feature seperti ini memang mengingatkan kita bahwa Indonesia masih menyisakan berita baik, menenangkan, dan tidak memancing emosi.

Kalau merasa jengkel dengan tayangan infotainment, ya gak usah ditonton. Mereka memang makin menjengkelkan tapi dari situlah rupanya stasiun TV menghidupi dirinya. Showbiz News-nya Metro pasti diperlukan, kalau mau tetap getting informed. Selebihnya, mungkin sedikit porsi Insert pagi dan Go Spot sudah cukup.

Kita harus tetap berprinsip bahwa ‘kita punya pilihan’. Untuk tidak keterusan nonton TV, ingatlah bahwa kita masih bisa menghibur diri dengan internet, radio, atau buku. Pastinya…!