17 Juli 2008

Stereo Nan Tipikal

Seolah setiap anak manusia mengawalinya dengan cara yang sama. Dajarkan kepadanya untuk tidak mendekat atau bermain api. Nakal atau tidak, menurut atau tidak, mengalaminya sendiri atau melihat orang lain. Pelajarannya adalah api itu panas, gunakan pada tempat dan waktunya.


Katakanlah sejak itu, setiap anak manusia mengakari otaknya untuk beranalogi, bermetafora, dan bahkan men-generalisasi. Mengumpulkan segenap pengetahuan, melakukan rangkaian penelitian dan pengamatan, merumuskan kesimpulan, menyusun ilmu pengetahuan. Majulah hidup mereka. Hebat!


Lalu banyak sekali (untuk tidak mengatakan semua) hal yang begitu masuk akal untuk dipadu padan atau salin tempel. Setiap hal dengan karakteristik umumnya akan identik dengan hal-hal tertentu yang dianggap paralel. Hingga takutlah kita pada oknum golongan kita yang memunculkan karakteristik ‘lain’. Binasa kau!


(Mungkin) setiap otak kita begitu terbiasa dengan pola analogi menuju kesimpulan yang sedemikian directive. Hasilnya judgmental, tsu udzon, stereotipikal. Selamat datang!


Lihat bagaimana otak saya begitu tercengang mendengar seorang penyiar perempuan, yang (saya pikir) begitu tipikal dengan sosok modern, gaul, metropolis dan sekuler karena karakter stasiun tempat beliau siaran, menceritakan aktivitas di hari itu yang lebih banyak di rumah menunggu adzan maghrib. Ya, beliau ini menjalani puasa Senin-Kamis. Saya terdiam. Saya terkejut. Tapi lebih terkejut lagi karena saya dan otak saya bisa terkejut mendengar ini. Bukankah semua orang berhak menjalankan puasa Senin-Kamis? Semua orang (muslim) tanpa kecuali, siapapun dia. Kenapa saya bisa heran?


Begitulah, otak saya sudah terbiasa menempelkan tindakan-tindakan ibadah pada orang-orang tertentu saja semisal berjilbab, bercelana ngatung, berjenggot, atau berparfum ‘Jumat’.


Itu baru satu hal, di satu hari. Bayangkan di waktu yang lain, menyangkut sejuta hal lain. Apa kabar rectoverso yang saya pikir telah saya tanam?


Pengalaman buruk atau musibah yang beruntun memiliki peluang besar untuk menjelma menjadi prasangka buruk pada (tidak tanggung-tanggung) Tuhan. Dia tidak sayang, Dia sengaja menyengsarakan, bahkan Dia tidak ada. Hati-hati dengan kemungkinan menemui ujung macam ini..


Terima kasih untuk Nona Ghana yang sempat menyempilkan :

I kept saying “why did u do this to me God?”. And He said “why not?”


14 Juli 2008

Satu Bangku

Siapa para significant others dalam hidup anda?

Yang juga terekam dalam ingatan saya adalah mereka yang saya sebut teman sebangku. Mari saya kenalkan mereka satu persatu…


Di kelas 1 SD dulu, teman sebangku saya bernama Yepi. Hampir tidak ada yang tersisa dari interaksi kita dulu. Yang saya ingat… pada usia kelas 1 SD dulu, dia sudah bisa bercerita sebuah pengalaman tentang k***l v***** teman seusianya. Fiuh..

Di kelas 2, saya sebangku dengan Robby. Klimis dan rapi. Kerabat salah satu guru di sekolah. Jago menulis indah di buku garis tiga. Saya tidak pernah melihatnya lagi di tahun-tahun berikutnya..

Di kelas 3, ada Dimas. Teman satu bangku, satu mobil jemputan, penulis yang lamban, pemilik adik kembar, keluarga Jawa, gigi saya harus dicabut karena menabrak keningnya di tikungan. Ck ck ck…

Lalu ada Yadi dan Yudha di kelas 4. Yang satu agresif mencocok-cocok penggarisnya di buku tulis mulus saya atau menjambak-jambak rambut saya, yang lain pernah dihukum guru karena rela saya larang mencontek PR dari saya..

Percaya atau tidak? Saya punya Fikar di kelas 5 dan 6. Dua tahun yang cukup mulus, sekaligus aneh karena praktis kami tidak lagi berhubungan, kecuali dengan friendster jalur basa basi.


Kelas 1 SMP adalah waktunya Anwar, si pembuat cerita mengesankan tapi kosong, dan Hadi, pemimpin grup pengolok saya yang berubah jadi teman yang sepertinya mengerti saya sepanjang waktu sesudah itu hingga sekarang.

Di kelas 2, ada Boby, tetangga nomor 2 yang so so, dan Hendri, teman haha hihi yang bermetamorfosis jadi teman penyimpan segala rahasia hingga sekarang. Tuhan punya kuasa..

Di kelas 3, saya berkesempatan lebih akrab dengan Sandi, tetangga nomor 62, yang tidak pernah terlalu bisa saya akrabi karena keakrabannya dengan tetangga nomor 61 yang sudah terlanjur. Huh..


SMU tiba. Di kelas 1, Tuhan menempatkan saya bersebelahan dengan Cipto. Tiada lain tiada bukan, si kreatif punya. Suka mengarang, menulis, menggambar, melukis, meramal, dan jajan bakwan gorengan. Sahabat sejati punya..

Kelas 2, saya sebangku dengan Heru, pria Jawa baik hati yang senyum selalu. Tapi hanya untuk beberapa minggu saja, untuk kemudian pindah ke sebelah Yani, gadis oriental nan pintar dan rajin. Tanya saja ada berapa murid les privatnya..

Nah, ini dia. Di kelas 3, saya menghabiskan waktu bersama Tjun Tjun. Tapi 4 bulan terakhir di tahun ini, kami bertukar teman sebangku. Tjun Tjun digantikan oleh Yuni, anak gaul yang cukup tipikal saat itu. Jangan tanya apa kisah dan kasih di belakangnya.. Mantan pacar! Puas??


Sekarang, saya tidak lagi bersekolah. Saya sudah jadi Bapak Pendidikan Nasional (meneruskan Ki Hajar Dewantara), yang memutuskan resign dari persilatan kuliah (sedikit lebih di depan ketimbang Ananda Mikola, mungkin). Teman sebangku saya setelah masa sekolah tempo hari adalah mas-mas ngantor, ibu-ibu ke pasar, dan mbak-mbak SPG yang duduk di sebelah saya di mikrolet. Dari mereka, saya curi dengar tentang konflik kantor mereka, beban rumah tangga mereka, dan kadang senandung mereka mengikuti musik di earphone mereka.


Kuasa Tuhan, Sang Maha Perencana travelling bagi hambanya..


08 Juli 2008

Uwang & Masyalah

Berapakah nilai 100 ribu rupiah?


Setara 20 bungkus kripik singkong pedas kah? Senilai 1 kali pembayaran BLT kah? Atau 2 cangkir kopi di Coffee Bean? Atau 2 porsi makan di Spice Graden? Atau total ongkos bensin motor anda dalam 1 bulan? Atau satu kali masuk Dufan? Atau untuk bergabung di Gerakan Orang Tua Asuh dalam membantu biaya sekolah anak usia SD selama setahun? Ataukah itu gaji anda per jamnya? Begitulah.. normalnya pasti akan ada banyak variasi jawaban.


Adakah di antara kita yang tidak punya masalah dalam hal uang?


Mengajak anak liburan? Kirim surat lamaran kerja? Menyekolahkan anak? Hobi fotografi? Beli 2 keping jajanan gorengan? Aqua segelas? Olahraga di fitness center? Gemar sudoku? Pulang kampung bertemu keluarga? Kompas Sabtu Minggu untuk lihat lowongan kerja? Rinso untuk cuci baju koko? Beras merah untuk kesehatan? Konser musik? Beli majalah bekas?


Kalaupun anda tidak punya masalah dengan uang, kemungkinan karena uang anda sudah berlipat-lipat banyaknya melebihi kebutuhan anda. Bisa 1 triliyun, 10 milyar, atau 1oo juta, tapi jangan salahkan kebahagiaan yang hadir bersama bersihnya 1 juta perbulan.


Kalau kita pernah bahagia dengan 900 ribu rupiah perbulan, lalu diberi kesempatan menghasilkan 20 juta per bulan tapi stress depresi tidak bahagia. Kepada siapakah harusnya bertanya? Salah siapa mengubah mimpi lalu tidak terwujud? Siapa suruh ganti keinginan kalau tidak mampu menerima kenyataan yang sebaliknya?


Sekali waktu, Tuhan memilih mengirim orang macam Tung Desem Waringin untuk menjatuhkan pecahan uang ke pekarangan hidup kita..


04 Juli 2008

Jakarta Raya

Setidaknya… jalan raya Jakarta sudah resmi menjadi salah satu anjungan. Berisi aspal, tiang listrik, kaki lima, jembatan layang, terowongan bawah tanah, rel kereta, payung halte, dan kereta dorong bayi.


Tentang siapa yang menumpang angkot, siapa yang menunggang sepeda motor, siapa yang menahkodai mobil pribadi, dan termasuk siapa yang dengan gagah memutuskan untuk mengendarai sepeda roda dua non motorik tanpa bahan bakar minyak.


Tentang luas Jakarta yang luas sekaligus sempit, tentang jalan protokol utama dan ratusan jalan tikus alternatif yang meliuk-liuk, tentang kemacetan sebagai hambatan, dan tentang kesal serta kangen yang muncul karenanya.


Tentang lubang-lubang besar kecil tak terhitung yang memuncaki penyelewengan, tentang asap mengepul yang mengabut, tentang panas terik yang berdebu, tentang hujan deras yang meruntuhkan mahluk Tuhan berbadan coklat dan bertangan hijau, tentang celaka tabrak, senggol serempet dan hancur terlindas.


Tentang semut yang mengerubungi gula tak peduli sikut menyikut. Tentang berangkat ke satu arah beramai-ramai pada pagi hari, untuk secara seragam pulang ke arah sebaliknya.


Kapokkah kita melewatinya? Jadi takutkah kita menjalaninya? Mungkin… tapi ini sebuah anjungan dengan satu bentuk. Pindah anjungan hanya ganti bentuk, karakter tetap sama.


Selamat datang di Taman Mini Hidup Indah. Selamat Ulang Tahun
Jakarta !