21 Desember 2007

Usia Iman


Dikurangi dengan mulainya masa puber, berarti kira-kira usia Iman sekarang 16 tahun. Mungkin sudah kelas 2 SMA. Mungkin Iman sudah tahu akan menjadi apa ia kelak. Mungkin juga belum. Yang jelas, Iman mulai melihat temannya satu persatu menjadi unik satu sama lain. Ia pikir juga harus mencari keunikannya. Mencoba aktif di sini, lalu aktif di sana. Mencoba mulai menggeluti ini, lalu itu, tapi lalu bosan akan semuanya. Mulai merasa mengerti ini dan itu, tapi bingung bertanya-tanya hal yang sama. Mengobrol dengan teman di sini, dan di sana, lalu akrab dengan beberapa di antaranya.

Sementara itu Iman juga punya banyak tugas di sekolahnya. Ulangan harian yang tiap minggu, tugas kliping yang harus dikumpulkan secepatnya, tugas paper yang menumpuk, PR matematika yang materinya saja belum ia mengerti, ekstrakurikuler yang mengasyikkan tapi juga melelahkan, dan juga kursus atau les ini itu. Belum lagi tantangan untuk mulai pacaran. Antara boleh dan tidak. Antara ingin dan tidak. Antara bergegas dan malu bergerak.

Tapi seusia inilah Iman punya banyak energi untuk berpikir, merasa, berkeinginan, menyusun rencana, beraktivitas, dan lalu ambruk.

Harus tetap dijalani walau ruwet, dipergunjingkan, dihakimi atau bahkan dicemooh. Yang mengerti Iman, hanya Iman dan yang memilikinya.

Jangan harap untuk banyak istirahat, sebab besok sudah kelas 3 SMA, lalu ujian, lalu kuliah, lalu berkongsi pada satu pilihan faham, lalu skripsi, lalu siap bekerja, dan lalu siap menjalani hidup nyata… sampai mati.

Iman kita masih remaja. Ia terlihat rapuh akan godaan. Tapi harus dibuat kokoh. Sebab kalau tidak, apa jadinya nanti?

20 Desember 2007

Potret Slipi

Iya deh, Ahmad Albar emang bener kok. Hidup ini emang kayak panggung sandiwara. Belum puas, Nike Ardilla juga ikutan punya versi lagu itu. Iya deh, secara panggung sandiwara.

Karena emang hampir tiap hari lewat perempatan Slipi yang ‘megah’ itu, tidak bisa tidak gw harus mencari cara menikmati suasana penuh ‘glamor’ itu. Gimana gak? Perempatan Slipi itu tempat di mana ribuan orang penduduk wilayah Jakarta Barat lewat sebelum mereka sampai di rumah. Di Slipi itu, mereka datang dari berbagai penjuru Jakarta. Kampung Rambutan, Depok, Lebak Bulus atau Ciputat, Senen, Pulo Gadung, Rawamangun, Blok M, Bekasi, bahkan Cibinong. Gak perlu ditanya abis ngapain di sana. Yang jelas menumpuklah orang di Slipi. Siapa yang bakal menampung dan mengantar mereka berikutnya sampai ke rumah? Gak lain adalah the ‘Great Mikrolet’. Dengan jumlah yang ribuan itu di sepanjang hari, penumpang layaknya gula yang lalu dikerubuti dan diperebutkan oleh semut, yang tidak bukan Mikrolet itu tadi. Dan sekedar mengimbangi jumlah penumpang, maka mikroletnya juga jadi banyak, bahkan sangat buanyak. Padahal lebar jalannya ya segitu-gitu aja.

Tapi dari sinilah gw bisa memulai melihat hectic-nya Slipi sebagai sebuah panggung sandiwara yang cukup besar. Pertunjukkannya bukan cuma 1 atau 2 hari, tapi setiap hari. Hari kemarin digunakan seperti gladi resik buat hari berikutnya. Tapi gladi resik yang dimaksud adalah pertunjukan sebenarnya di hari itu. Jadilah semua peran cuma bisa learning by doing. Memperbaiki ‘acting’nya sitiap hari. Termasuk gw, sebagai salah satu dari ribuan penumpang itu.

Sekarang, mari kita bahas perannya satu per satu. Pertama, si ribuan penumpang tadi. Jumlah yang banyak ini tidak menjadikan mereka figuran lho. Adegannya memang kebanyakan seperti tarian penari latar. Lompat-lompat dari bis, lari-lari kecil untuk menyelamatkan diri menghindari tebasan bis besar dan truk gandeng yang gak peduli harus jalan kalau lampu udah hijau. Trus istirahat sebentar, mungkin sekedar untuk minum atau mencicipi cemilan yang’disediakan’. Lalu lari-lari lagi mengejar mikrolet yang cukup penuh, yang artinya udah siap berangkat tanpa ngetem-ngetem lagi. Atau ada juga penumpang yang berperan sebagai penumpang ‘pasrah’. Penumpang ini langsung naik mikrolet pilihannya, gak peduli siap berangkat atau masih ngetem selama 10-20 menit. Adegannya emang diam aja di dalem mikrolet, tapi bukan berarti figuran. Nah, penumpang pasrah ini kadang-kadang juga berubah terbangkitkan emosinya kalau sang supir gak kunjung menginjak pedal gas alias berangkat. Maka skrip untuk menunjukkan kemarahannya adalah : ‘Udah Pir, jalan Pir’, walaupun bukan ngomong ama buah pir. Kadang juga diselingi ama gedoran pelan ke jendela atau langit-langit mikrolet. Kalau supirnya cuek gak berangkat-berangkat, ada juga peran penumpang yang ngambek turun trus pindah ke mikrolet di samping kanan yang jelas-jelas siap berangkat.

Yang kedua adalah peran Supir. Biasanya skrip tetapnya adalah menyebutkan pemberhentian terakhir mereka : ‘bayuran-bayuran’ atau ‘yo jeruk-jeruk’. Tau dong maksudnya? Bayuran berarti Kebayoran Lama. Jeruk maksudnya Kebon Jeruk.
Secara garis besar ada 2 jenis supir. Satu, yang gak kepengen ngantri lama, cuma teriak-teriak sebentar trus berangkat gak peduli mikroletnya masih kosong. Mungkin prinsipnya, rejeki gak ditunggu dengan cara ngetem tapi justru dijemput dengan terus melaju. Ntar di depan juga ada penumpang yang naik. Optimis. Dua, yang gemar sekali ngetem sampe mikroletnya penuh. Model supir ini biasanya kupingnya tebel banget. Bodo’ amat penumpang protes, yang jelas mikrolet gw blom penuh, kalo loe mo pindah ya pindah aja, ‘serah loe.

Tapi hampir semua supir punya tingkat kenorakan yang sama. Mereka akan ribut-ribut klakson kalo jalannya terhalangi mikrolet di depannya. Tapi begitu mereka ada di barisan terdepan, mereka yang akan jadi penghalang. Selalu begitu. Inilah yang bikin gw geleng-geleng sambil senyum sambil nyari sebutan apa yang pas buat mereka selain munafik.

Lalu ada peran penting yang lain. Mereka adalah Preman. Yup, jumlah mereka bukan satu atau dua, tapi banyak. Mereka ini pake topeng pengatur lalu lintas. Mengatur mikrolet yang terlalu lama ngetem, supaya cepet jalan. Dengan begitu jalan bisa terbuka buat kendaraan di belakangnya. Caranya dengan meneriaki supir sekenceng-kencangnya, kadang bawa tongkat kayu untuk menggedor badan mikrolet, dan pastinya minta jatah. Supir bisa ngetem agak sedikit lama asal bayar. Kalau gak bayar tapi ngetemnya lama, makian bisa dahsyat dan mungkin juga ada bogeman. Jadi ngerti kan kenapa gw sebut preman? Preman ini bisa tiba-tiba menghilang menyamar sebagai penjaga warung kalau ada polisi beneran. Tapi sayang polisi beneran ini cuma pemain figuran, yang tampil 1 atau 2 kali sebulan aja. Mungkin show di tempat lain kali ya..

Selain polisi beneran, ada figuran lain seperti penjaga warung rokok, tukang teh botol, tukang pempek, tukang gorengan dan pengamen. Penting sih, tapi mereka biasanya cuma bermain di pinggir panggung. Mungkin mereka jadi pemeran utama di cerita lain.

Panggung ‘Live Broadway’ ini selalu gw saksikan dengan antusias. Karena menurut gw, kita dipaksa cuma bisa menikmati. Gak mungkin kan gw ikut gedor-gedor dan teriak-teriak di slipi supaya semua sopir gak ngetem, atau supaya preman gak ada lagi. Yang ada gw bakal libur dari show itu karena bonyok.

Kalau kita gak senang ama skenarionya, ya gak usah lewat sana. Kalo harus lewat sana, ya harus ikut jadi pemain di show Slipi itu. Supir dan preman akan tetep gak bener kayak gitu, secara pemerintah DPR polisi dan policy-makernya juga gak bener kan?


02 Desember 2007

Tiket



Last name dunia ini memang amat menentukan arah cerita di dalamnya. Fana.. Dunia Fana !! Bayangkan !! Fana itu sebuah takdir bahwa hidup kita di ‘sini’ hanya sementara. Dengan kata lain waktunya terbatas, dan bahkan sangat terbatas. Dan sifat itulah yang mengikuti segala hal dan segala-galanya di ‘sini’. Semuanya terbatas. Terbatas ruang dan waktu. Terbatas jumlah dan ukuran. Usia, lahan hidup, sumber daya, kemampuan panca indera, daya jangkau pikiran, bahkan yang paling jauh sekalipun, daya khayal. Semua dan hanya semua, segalanya terbatas.

Maka berada di dalam dunia fana, lalu menjalani hidup di sana layaknya hari pertama peluncuran Harry Potter. Yang mendapat copy di hari itu mungkin telah memulai antri beberapa hari sebelumnya di depan pintu toko buku. Nun jauh di seberang negeri asal penerbitannya, orang-orang harus mulai membayar down payment sejak beberapa bulan sebelum hari H. Tetap di hari H pun, seperti harus berhimpit-himpitan berebut tempat untuk mendapat copy seri terbaru secepat mungkin. Keterbatasan kesempatan mendapatkannya memunculkan gengsi bagi siapa yang berhasil memilikinya sejak hari pertama peluncuran. Semakin bertambahlah alasan orang untuk bergerak cepat.

Itu baru Harry potter. Belum lagi ribuan lain judul buku best sellers serupa, film box office, tiket konser diva, posisi tempat duduk di sekolah, jatah prime time televisi, ruang frekuensi siaran udara, tempat duduk di ruang tunggu dokter ternama, antrian restoran waktu buka puasa, kue iklan di industri media, jumlah items di butik internasional, lowongan kerja, pacar idaman, aliran air sungai di musim kemarau, persediaan kandungan minyak bumi, tiket pergi haji, jatah daging qurban, termasuk juga lahan tanah kuburan.

Ada yang memang benar-benar terbatas, tapi ada juga yang sengaja dibuat terbatas supaya pemiliknya punya gengsi.

Pada akhirnya, semua seperti ruang-ruang teater panggung sandiwara. Keterbatasan tempat duduknya menuntut kita harus menunjukkan tiket untuk masuk, duduk dan menikmatinya. Kita bisa menghindari tontonan favorit, lalu beralih pada pilihan lain yang sesungguhnya mungkin ada. Tapi tiket harus tetap ditunjukkan. Entah darimana dan bagaimana kita mendapatkan sang tiket. Reserve sejak lama, tiket gratis dari kenalan dekat, tiket hasil traktiran, tiket pemenang kuis dan undian, atau beli dadakan dari calo.

Situasi ini amat sangat tidak mudah. Teramat sangat sulit, malah. Karena hal memperoleh tiket ini menyangkut kemampuan finansial dan networking. Kerap orang menamainya usaha. Ketidakmampuan akan dua hal itu akan memberi efek yang sungguh tidak ringan. Percayalah. Tunggu sampai anda merasakannya benar-benar. Di rimba dunia fana ini, kita bisa menjadi korban pikiran dan perasaan kita sendiri.

Semua kita, punya bagiannya masing-masing. Semoga benar adanya. Sebelum semua air mata ini kering, sebelum kesabaran menemukan jurang lalu mati terperosok.
Semoga…


Ferre Wanna-Be


Sepenggal kalimat dalam ‘Mengejar Matahari’ berbunyi seperti ini : ‘Hari ini bukan dimulai sejak kita bangun di pagi hari tadi. Ia mulai jauh sebelum itu’.

Respon pertama saya tentang itu adalah senyum… trus… bengong (seperti biasa). Saya suka sekali kalimat itu. Mungkin karena saya telah sedikit merasakan dan membuktikannya. That’s why saya senyum. Tapi sejauh apa sih perwujudannya? Apa itu hanya melingkupi hal-hal kecil di hidup kita saja? That’s why saya bengong.

Jawaban yang saya dapat adalah : tidak. Kalimat itu tidak hanya menyangkut hal-hal kecil yang remeh. At least, it happened to what I did for a living at mt previous time. Here’s the story.
Menjalani pekerjaan di mall adalah sesuatu yang saya bela sejak mulai maraknya pembangunan mall di Jakarta. Menurut saya, pembangunan mall baru = peluang besar terbukanya lowongan kerja baru. Pembelaan sederhana (tidak ngotot diucapkan atau diperdebatkan) yang muncul di pikiran seorang anak usia sekolah menengah yang kebetulan gemar jalan-jalan di mall. Dan kalau kenyataannya saya menjadi termasuk salah satu yang saya bela waktu itu, saya rasakan sendiri itu bukan sesuatu yang kecil apalagi remeh. Terlepas dari segala lorong gelap, kerikil tajam, dan jalan terjal yang dilalui untuk itu, saya berpikir setidaknya pekerjaan yang saya jalani dulu tidak dimulai di pagi di mana saya berangkat kerja di hari pertama, tidak dimulai bulan sebelumnya, dan tidak pula saat saya mengirim surat lamaran. Tapi justru dimulai ketika saya mulai berpikir tentang pembelaan pembangunan mall. Itu berarti dimulai sekitar sepuluh tahun sebelumnya.

Here’s another one. Dari sedikit cerita cinta yang saya punya, ternyata saya bisa jatuh cinta mati-matian plus gila-gilaan ama pacar orang… (boleh kok ketawa). Menantang sekali karena ini bukan cerita tentang telapak yang bertepuk sebelah tangan. Suatu rentang waktu sampai akhirnya disudahi karena tak ada yang bisa dilanjutkan, inilah babak di mana saya tidak akan mendapat dukungan dari siapa pun, bahkan sahabat terdekat sekalipun. Sesuatu yang benar-benar menguji kemandirian saya berpikir dan mengambil keputusan. Untuk kasus seperti ini, saya harus membagi cerita gila ini sendiri, meneteskan air mata tanpa ada yang tahu, dan merasakan sendiri runtuhnya perasaan karena gagal. Harus ‘dinikmati’ sendiri karena orang lain melihat ini dengan otaknya, sedang kita merasakannya dengan hati.

And you know what? Saya pikir kesempatan menggilai cinta gila seperti ini, saya ‘peroleh’ dari kekaguman saya pada roman Ferre, Rana dan Arwin di Supernova. Waktu baca itu, fokus terbesar saya adalah Ferre. For your information, Ferre adalah orang yang gak ngapa-ngapain kecuali gila kerja. Ferre cuma punya sedikit sekali cerita cinta. Once he got the chance, Ferre cinta mati pada Rana, yang bersuamikan Arwin. Rana pun merasakan hal yang sama pada Ferre. Sampai akhirnya semua disudahi, Rana kembali pada Arwin. Bayangkan apa yang dirasakan Ferre! Jarang sekali mendapat kesempatan jatuh cinta, dan sekalinya jatuh cinta langsung cinta mati ama istri orang. Happy ending atau tidak, itu terganting persepsi kita. Tapi bagi saya, ending nya berhasil membuat saya merenunginya bertahun-tahun, hingga berkesempatan mengalami hal yang serupa.

Mudah-mudahan saya sudah mengakhirinya. Mudah-mudahan pengalaman ini tidak terulang lagi. Bukan karena kapok atau menyesal telah memulainya, tapi sekali lagi inilah cerita yang amat melelahkan secara lahir batin, walaupun saya yakin pelajaran yang didapat banyak sekali. Mungkin saya tidak bisa menceritakannya pada anda. Saya juga tidak bisa memaksa anda untuk mempercayai saya. Tapi kurang lebih, akhir ceritanya persis serupa..


Mengerikan sekali membayangkan semuanya, bahwa apa yang saya pikirkan sebagai prinsip (di otak anak seusia SMU yang amat lugu), apa yang saya kagumi tentang sebuah cerita percintaan, apa yang saya bayangkan tentang masa depan, dan apa yang saya inginkan bisa benar-benar datang menghampiri saya sebagai pengalaman nyata yang komplikasi dan karakteristiknya begitu serupa. Tuhan memang maha kuasa dalam mendengar suara bibir mengucap. Tapi saya juga harus mempercayai bahwa Dia juga mencatat apa yang hati kecil kita pernah rasakan dan otak lugu kita pikirkan tentang apapun.

Saya jadi mengingat-ingat secara mendetil apa yang pernah terlintas di hati dan pikiran saya. Banyak duit, pacar yang saya amat saya sayangi dan menyayangi saya, pekerjaan yang comforting, temen-temen yang mengenal saya begitu dekat, hidup bahagia pastinya. Saya tidak cukup kuat mengingat semua, lagipula tidak cukup jujur untuk bisa menuliskan semuanya. Tapi pasti Dia telah mencatatnya dengan baik di sana…


Ruang Tunggu


Menunggu. Andaikan ia hanya sekedar menunggu angkot lewat, menunggu obat selesai diracik oleh apoteker, menunggu kucing kesayangan melahirkan, menunggu 30 menit lagi untuk istirahat makan siang atau menunggu di antrian teller bank. Cukup sekali mengucap ‘sabar’, ta da…… angkot datang, obat sudah dikemas, 3 anak kucing lucu-lucu sudah bergerak-gerak, jarum panjang dan jarum pendek sudah berhimpit menunjuk angka 12, dan layar monitor sudah menunjukkan nomor antrian kita.

Tapi tidak semudah itu hidup bermekanisme. Menunggu punya begitu banyak wajah. Senyum simpul, tawa ceria, raut masam, kening menekuk, sorot mata melesu, wajah merah padam, bahkan rambut rontok, pipi tirus, bibir pecah-pecah, lidah kelu, dan kelopak mata sembab. Paling tidak sekali dalam hidup, kita dipertemukan dengan menunggu berwajah garang, menenteng kantong plastik besar berisi banyak emosi dan perasaan mendalam untuk kita. Awas, siap-siap depresi.

Tidak percaya? Anda boleh mencicipi rasa menunggu yang ini. Menunggu datangnya pekerjaan baru, atau yang lebih istimewa lagi ; menunggu orang yang kita sayang putus dari pacarnya.
Dunia dan kehidupannya seperti sebuah ruang tunggu besar atas keinginan masing-masing penghuni dunia ini. Kita merasa, memutar otak, dan mengasah akal hingga mendapatkan ide tentang apa yang kita bisa lakukan selama menunggu keinginan kita terwujud. Sekedar baca majalah? Main catur? Scrabble? Monopoli? Bersenandung? Atau berbalas pantun?

Ruang tunggu ini memang menyesakkan. Karena kita tiba-tiba ada di sini, ikut menunggu tapi, bisa jadi, tidak persis tahu apa yang sebenarnya sedang kita tunggu. Banyak dari kita perlu berdarah-darah untuk sekedar tahu apa yang kita ingin tunggu. Lalu? Kembali berdarah-darah mengupayakannya, mengusahakannya, mengharapkannya. Menunggunya… !! Berdarah-darah pula ketika yang datang bukanlah yang ditunggu.
Hidup di dunia. Rentang periode yang aneh…

Pada akhirnya kita membutuhkan lebih banyak orang, bahkan untuk bersenandung sekalipun. Experience the time together, and hopefully the next thing come to us is something that we’re waiting for..