23 Januari 2009

Anakku, sekolah ya biar pinter, trus....

Seorang pelanggan datang ke toko tempat saya bekerja. Bapak cukup berumur berkaca mata dengan tongkat di tangan kanannya. Tidak ada yang bisa saya jelaskan lebih lanjut tentang bapak ini kecuali bahwa beliau adalah seoarang penderita post power syndrome. An aggressive one. Well, sorry for being judgmental, because I am.


Bapak non simpatik ini mencari sebuah Jurnal internasional yang kemudian dia (maaf, tidak cukup cocok menggunakan istilah beliau) kuliahi kita semua bahwa jurnal yang dia pilih itu adalah jurnal kaum intelektual. Dan jangan kira kuliahnya hanya tentang topik ini. Kemudian dia kuliah tentang perlunya training lebih lanjut buat penjaga toko, teknik merchandising toko buku yang seolah-olah paling benar, tentang ini dan tentang itu. Semuanya dengan volume 10 skala 10 di outlet ukuran 30 m2. Dan jangan sekali-kali membayangkan gaya kuliah yang menyenangkan. I assumed he’s a lecturer. Tapi saya lebih memilih menyimpulkan bahwa dia adalah bapak yang otoriter, kolot, bossy, jauh dari sopan, bijaksana, tapi sayang, kekuasaannya sudah meluruh lebih dari 3/4 porsi yang pernah dia sandang. Dia tengah menghadapi fakta pahit bahwa sekarang ini, di masa tuanya, semakin sedikit orang yang bisa dia doktrin. Tidak ada anak buah, kecuali pembantu dan sopir di rumah. Tidak anak, karena sudah menikah dan punya rumah tangga sendiri. Tidak murid, karena sudah pensiun mengajar. Maka, penjaga toko adalah sasaran empuk buat orang macam ini. Mungkin dia tidak peduli apakah kami yang dikuliahi itu mendengar atau tidak. Tapi kuping saya sangat memerah, hati mengganjal, tangan mengepal, dan saya memutuskan untuk ke toilet saja. Daripada menambah dosa gak penting….


Sekali lagi, maafkan kalau saya terlalu pre-judgmental. Tapi saya tidak menyesal menyimpulkannya begini. Maafkan juga kalau kelak ternyata ini hanyalah masalah saya yang tidak suka pelanggan macam dia. Tapi…. SAYA TIDAK MENYESAL.


Kenapa? Karena topik intelektual yang dibawakannya itu sama sekali tidak relevan dengan upaya penciptaan suasana kehidupan yang adil dan beradab. Siapa sih orang-orang yang mengisi posisi di PBB? Pasti masuk kriteria intelektual. Tapi 1500 orang dibantai di Gaza aja tidak bisa apa-apa. Berapa orang sarjana hukum sih yang diciptakan di Indonesia tiap tahunnya? Tidak perlu jauh-jauh mengukur berapa koruptor yang sudah dihukum, gugatan cerai yang diajukan Kristina saja ditolak oleh majelis hakim. Butuh alasan gila apa lagi untuk boleh cerai? Oiya ya, bos-bos hakim di MA kan kerjaanya cuma bikin aturan supaya masa jabatan lebih lama. Cita-citanya : mati dalam keadaan berkuasa, supaya yang melayat rame, diliput media massa.


Ada berapa sih sarjana pertanian di Indonesia? Kok petani gak kaya-kaya? Apa di jajaran strategis POLRI gak ada yang intelektual? Pembajakan film aja gak kelar-kelar. Emang butuh logika yang rumit ya untuk menyimpulkan bahwa kemacetan di Jakarta itu CUMA karena bus-bus di Jakarta itu gak nyaman dan aman? Harus S3 ya untuk paham logika ini? Alih-alih, anak sekolah disuruh masuk lebih pagi.


Dan saya tidak yakin orang-orang di kejaksaan adalah bukan dari kalangan intelektual. Kok susah banget sih membuktikan korupsi di BI dan DPR?

Walhasil, di negara HUKUM RI tercinta ini, kita bisa lihat dengan kasat mata bahwa membunuh itu boleh karena Muchdi divonis bebas. Menjadi produsen dan pengedar narkoba itu ok-ok saja, toh paling maksimal vonis mati tanpa eksekusi. Sementara di penjara, bisnis narkobanya bisa tetap berkembang pesat.


Saya tidak percaya, Indonesia ini kekurangan orang dari kalangan intelektual. Tapi, entah bagaimana, ujung semuanya cuma satu. Bahwa intelektualisme perlu dicapai…. untuk memakmurkan diri sendiri… kalau perlu dengan mencari upaya yang jauh dari halal. Keadilan dan kemakmuran bersama? Cuma milik para utopis. Persetan dengan filantropis. Cuih!!


Dan saya harus mendengarkan dan percaya sama bapak penderita post power syndrome versi agresif dengan perkuliahan intelektualismenya itu?


MAAF kan saya…


11 Januari 2009

Zionis, Bukan Manusia

Bicara tentang agresi pembantaian di Gaza oleh Israel, saya teringat materi logika matematika di SMU dulu :


Jika P maka Q


Yup, gak ada variabel lain. Gak ada R, gak ada S. Maka kesimpulannya adalah :

Cuma setan usil, iblis jahanam, jin kafir, mak lampir, dan grandong yang mendukung atau abstain dalam menyikapi pembantaian ini. Gak mungkin manusia.


Logika yang sederhana kan?

06 Januari 2009

Bunga Tidur

Tidur kok berbunga? Kayak pohon aja. Kita bisa apa? Cuma berniat istirahat dan memejamkan mata, kok muncul sesuatu gambaran seperti film fiksi. Ceritanya bisa apa saja, tentang siapa saja, sedang apa saja. Kalo kita cuek, ya cuek aja. Tapi beberapa di antaranya memaksa kita mengingatnya. Bagaimana tidak? Kadang-kadang filmnya horor. Lebih dari sekedar munculnya You-know-who nya Harry Potter. Kadang-kadang mengharukan, kadang-kadang menyesatkan, kadang-kadang bikin celana basah…. Tapi lebih sering membingungkan.


Tanpa berniat mencari tahu dengan lebih pasti karena takut gila, tapi tetap bertanya ringan kenapa pernah muncul bunga tidur macam berbaring lelap di atas kolam ikan, berlari-lari tanpa arah sementara orang lain tenang-tenang, melayat kematian banyak orang dalam satu hari, berjalan-jalan santai tanpa busana di tengah keramaian, atau yang paling sering … menjadi salah satu yang berkaca mata?


Walhasil, saat bangun kadang lelah, kadang tersenyum, kadang jadi bawel karena cerita sana sini, kadang berceceran peluh, kadang bermuka ruwet, kadang menaikkan alis sebelah sisi, kadang membuat jalan lunglai dan kadang mau kembali tidur..


Hihihi…. Tertawai saja dirimu sampai puas