02 Desember 2007

Ferre Wanna-Be


Sepenggal kalimat dalam ‘Mengejar Matahari’ berbunyi seperti ini : ‘Hari ini bukan dimulai sejak kita bangun di pagi hari tadi. Ia mulai jauh sebelum itu’.

Respon pertama saya tentang itu adalah senyum… trus… bengong (seperti biasa). Saya suka sekali kalimat itu. Mungkin karena saya telah sedikit merasakan dan membuktikannya. That’s why saya senyum. Tapi sejauh apa sih perwujudannya? Apa itu hanya melingkupi hal-hal kecil di hidup kita saja? That’s why saya bengong.

Jawaban yang saya dapat adalah : tidak. Kalimat itu tidak hanya menyangkut hal-hal kecil yang remeh. At least, it happened to what I did for a living at mt previous time. Here’s the story.
Menjalani pekerjaan di mall adalah sesuatu yang saya bela sejak mulai maraknya pembangunan mall di Jakarta. Menurut saya, pembangunan mall baru = peluang besar terbukanya lowongan kerja baru. Pembelaan sederhana (tidak ngotot diucapkan atau diperdebatkan) yang muncul di pikiran seorang anak usia sekolah menengah yang kebetulan gemar jalan-jalan di mall. Dan kalau kenyataannya saya menjadi termasuk salah satu yang saya bela waktu itu, saya rasakan sendiri itu bukan sesuatu yang kecil apalagi remeh. Terlepas dari segala lorong gelap, kerikil tajam, dan jalan terjal yang dilalui untuk itu, saya berpikir setidaknya pekerjaan yang saya jalani dulu tidak dimulai di pagi di mana saya berangkat kerja di hari pertama, tidak dimulai bulan sebelumnya, dan tidak pula saat saya mengirim surat lamaran. Tapi justru dimulai ketika saya mulai berpikir tentang pembelaan pembangunan mall. Itu berarti dimulai sekitar sepuluh tahun sebelumnya.

Here’s another one. Dari sedikit cerita cinta yang saya punya, ternyata saya bisa jatuh cinta mati-matian plus gila-gilaan ama pacar orang… (boleh kok ketawa). Menantang sekali karena ini bukan cerita tentang telapak yang bertepuk sebelah tangan. Suatu rentang waktu sampai akhirnya disudahi karena tak ada yang bisa dilanjutkan, inilah babak di mana saya tidak akan mendapat dukungan dari siapa pun, bahkan sahabat terdekat sekalipun. Sesuatu yang benar-benar menguji kemandirian saya berpikir dan mengambil keputusan. Untuk kasus seperti ini, saya harus membagi cerita gila ini sendiri, meneteskan air mata tanpa ada yang tahu, dan merasakan sendiri runtuhnya perasaan karena gagal. Harus ‘dinikmati’ sendiri karena orang lain melihat ini dengan otaknya, sedang kita merasakannya dengan hati.

And you know what? Saya pikir kesempatan menggilai cinta gila seperti ini, saya ‘peroleh’ dari kekaguman saya pada roman Ferre, Rana dan Arwin di Supernova. Waktu baca itu, fokus terbesar saya adalah Ferre. For your information, Ferre adalah orang yang gak ngapa-ngapain kecuali gila kerja. Ferre cuma punya sedikit sekali cerita cinta. Once he got the chance, Ferre cinta mati pada Rana, yang bersuamikan Arwin. Rana pun merasakan hal yang sama pada Ferre. Sampai akhirnya semua disudahi, Rana kembali pada Arwin. Bayangkan apa yang dirasakan Ferre! Jarang sekali mendapat kesempatan jatuh cinta, dan sekalinya jatuh cinta langsung cinta mati ama istri orang. Happy ending atau tidak, itu terganting persepsi kita. Tapi bagi saya, ending nya berhasil membuat saya merenunginya bertahun-tahun, hingga berkesempatan mengalami hal yang serupa.

Mudah-mudahan saya sudah mengakhirinya. Mudah-mudahan pengalaman ini tidak terulang lagi. Bukan karena kapok atau menyesal telah memulainya, tapi sekali lagi inilah cerita yang amat melelahkan secara lahir batin, walaupun saya yakin pelajaran yang didapat banyak sekali. Mungkin saya tidak bisa menceritakannya pada anda. Saya juga tidak bisa memaksa anda untuk mempercayai saya. Tapi kurang lebih, akhir ceritanya persis serupa..


Mengerikan sekali membayangkan semuanya, bahwa apa yang saya pikirkan sebagai prinsip (di otak anak seusia SMU yang amat lugu), apa yang saya kagumi tentang sebuah cerita percintaan, apa yang saya bayangkan tentang masa depan, dan apa yang saya inginkan bisa benar-benar datang menghampiri saya sebagai pengalaman nyata yang komplikasi dan karakteristiknya begitu serupa. Tuhan memang maha kuasa dalam mendengar suara bibir mengucap. Tapi saya juga harus mempercayai bahwa Dia juga mencatat apa yang hati kecil kita pernah rasakan dan otak lugu kita pikirkan tentang apapun.

Saya jadi mengingat-ingat secara mendetil apa yang pernah terlintas di hati dan pikiran saya. Banyak duit, pacar yang saya amat saya sayangi dan menyayangi saya, pekerjaan yang comforting, temen-temen yang mengenal saya begitu dekat, hidup bahagia pastinya. Saya tidak cukup kuat mengingat semua, lagipula tidak cukup jujur untuk bisa menuliskan semuanya. Tapi pasti Dia telah mencatatnya dengan baik di sana…


Tidak ada komentar: